Tiga Perbedaan EYD dan EBI
MELALUI Peraturan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Nomor 50 tahun 2015, Mendikbud mencabut Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang
Disempurnakan (EYD).
Dengan begitu, EYD sudah tidak
berlaku. Pemerintah menggantikannya dengan Ejaan Bahasa Indonesia (EBI).
Jika kita anggap EBI adalah sistem
ejaan baru, EBI adalah sistem ejaan keempat yang pernah digunakan di Indonesia.
Tahun 1947 kita pernah menggunakan Ejaan Republik atau Ejaan Soewandi. Tahun
1959 kita pernah gunakan Ejaan Melindo, meskipun gagal diterapkan karena
konflik politik Indonesia-Malaysia. Baru pada 1972-lah diterbitkan EYD yang
berlaku hingga 25 November 2015.
Bangsa kita pernah menggunakan Ejaan
Van Opheisjen sejak 1901. Tetapi karena itu berlaku jauh hari sebelum ada
Indonesia, saya tidak masukkan dalam hitungan.
Secara yuridis, kini sistem ejaan
yang resmi (diakui negara) adalah Ejaan Bahasa Indonesia yang terlampir dalam
Permendikbud 50 Tahun 2015.
Meskipun namanya ganti, tidak ada
perbedaan mendasar antara EYD dengan EBI. Hanya ada tiga perbedaan yang dapat
saya temukan.
Pertama, penambahan huruf vokal
diftong. Di EYD, huruf diftong hanya tiga yaitu ai, au, ao. Di EBI, huruf
diftong ditambah satu yaitu ei (misalnya pada kata geiser dan survei).
Kedua, penggunaan huruf kapital.
Pada EYD tidak diatur bahwa huruf kapital digunakan untuk menulis unsur
julukan. Dalam EBI, unsur julukan tidak diatur ditulis dengan awal huruf
kapital.
Ketiga, penggunaan huruf tebal.
Dalam EYD, fungsi huruf tebal ada tiga, yaitu menuliskan judul buku, bab, dan
semacamnya, mengkhususkan huruf, dan menulis lema atau sublema dalam kamus.
Dalam EBI, fungsi ke tiga dihapus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar